Guru dan Belenggu Pikiran yang Tak Berubah: Akar Stagnasi Kognitif dalam TKA

Sabtu, 27 Desember 2025

Refleksi Sistem Pendidikan Indonesia

Perubahan kurikulum di Indonesia kerap disambut dengan kehebohan, mulai dari pelatihan besar-besaran hingga penyesuaian buku ajar dan administrasi. Namun, ketika hiruk-pikuk ini mereda, sebuah pertanyaan mendasar menggantung: apakah kemampuan berpikir kognitif siswa, yang tercermin dari hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA), benar-benar mengalami peningkatan signifikan?

Ilusi Perubahan: Ketika Administrasi Mengalahkan Substansi

Reformasi pendidikan sering kali terjebak dalam perubahan kulit, dari kurikulum KTSP, K13, hingga Merdeka Belajar. Guru disibukkan dengan penyusunan RPP, modul ajar, dan dokumen portofolio yang semakin kompleks. Sayangnya, kesibukan ini jarang diimbangi dengan transformasi mendalam dalam cara berpikir (mindset) dan praktik pedagogis guru di dalam kelas.

Hasilnya, perubahan hanya terasa di lemari arsip, bukan pada kualitas penalaran siswa. Kesenjangan antara "yang diadministrasikan" dan "yang benar-benar diajarkan" semakin lebar.

Teknologi pun hadir sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan akses informasi tanpa batas. Di sisi lain, ketergantungan pada teknologi justru sering menghasilkan "kognitif artifisial", kemampuan siswa yang terlihat baik karena bisa mengakses jawaban instan, tetapi rapuh dalam dasar pemahaman, analisis, dan sintesis.

KKM: Topeng Kenyamanan yang Mematikan Motivasi

Kebijakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dalam praktiknya sering kali menjadi bumerang. Alih-alih menjadi standar pencapaian yang memotivasi, KKM kerap diturunkan atau dimanipulasi agar siswa "terlihat" lulus dan sekolah terlihat berprestasi.

Fenomena ini menciptakan ilusi keberhasilan yang berbahaya. Siswa, orang tua, dan bahkan guru sendiri bisa terbuai oleh angka di rapor, padahal kemampuan riil siswa yang belakangan terukur melalui TKA ternyata jauh di bawah standar kompetensi yang diharapkan. Dari KKM rapor 70-75 tetapi dari hasil TKA berada dikisaran 30-50. Terlepas dari konten soal TKA itu sendiri, bila KKM nyata bagaimanapun soalnya tentu deviasinya tidak akan jauh.

Guru "Biasa-Biasa Saja": Siklus Stagnasi yang Terus Berulang

Refleksi paling jujur justru datang dari dalam diri guru sendiri. Sebagian besar guru adalah produk dari sistem yang sama, mereka adalah siswa "biasa-biasa saja" di masa lalu, lalu melanjutkan ke pendidikan keguruan, dan akhirnya mengajar dengan bekal pemahaman "ala kadarnya."

Tanpa kesadaran untuk terus berkembang, tanpa visi yang jelas tentang apa makna mendidik yang sebenarnya, rutinitas mengajar pun berjalan seperti mesin: masuk kelas, menyampaikan materi, memberi tugas, lalu pulang.

Tidak ada kontrol sejati dari dalam diri. Supervisi dari pihak luar sering kali hanya fokus pada kelengkapan administrasi, bukan pada kedalaman pengajaran. Akibatnya, guru terjebak dalam zona aman pedagogis, mengajar dengan cara yang paling nyaman bagi diri sendiri, bukan yang paling efektif bagi perkembangan kognitif siswa.

Menyalahkan Diri Sendiri: Titik Balik Menuju Kesadaran

Menyalahkan sistem, kurikulum, atau fasilitas memang mudah. Namun, esensi perubahan justru dimulai ketika guru berani melihat ke cermin dan bertanggung jawab. "Salahkan diri sendiri" bukanlah mantra pesimis, melainkan panggilan untuk introspeksi yang jujur.

Apapun perubahan eksternal yang terjadi, siswa berganti generasi, teknologi berkembang pesat, pertanyaan kuncinya tetap: "Bagaimana dengan kita sendiri?"

Perubahan kurikulum tidak akan pernah signifikan jika tidak diiringi dengan revolusi mindset guru. Guru harus berani keluar dari belenggu rutinitas, membangun kesadaran bahwa mengajar bukan sekadar mentransfer ilmu, melainkan menciptakan pengalaman berpikir. Mindset guru juga bukan sekadarnya sampai pada pola nalar yang benar-benar disadari, dilakukan dan diterapkan dalam prose pengajaran.

Menuju Transformasi: Dari Guru "Pemenuh Administrasi" Menjadi Guru "Pembangun Pikiran"

Jika ingin melihat peningkatan nyata dalam hasil TKA dan yang lebih penting dalam kemampuan kognitif siswa, perubahan harus dimulai dari guru.

Langkah-langkah Konkret:

  1. Berfokus pada Proses Berpikir, bukan Hanya Hasil.
    Kurikulum apa pun dapat menjadi efektif jika guru mampu merancang pembelajaran yang menantang siswa untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta, bukan sekadar menghafal.
  2. Menggunakan Teknologi secara Kritis.
    Jadikan teknologi sebagai alat untuk memperdalam pemahaman, bukan pengganti proses berpikir. Ajarkan siswa untuk menyaring, mengolah, dan merekonstruksi informasi.
  3. Menolak Ilusi KKM.
    Berani menetapkan standar kejujuran akademik dan bekerja keras untuk mencapainya, bukan menurunkannya demi pencitraan.
  4. Komunitas Reflektif.
    Membangun kelompok belajar guru untuk saling mengobservasi, memberi umpan balik, dan berbagi strategi peningkatan kualitas mengajar, bebas dari beban administratif semata.
  5. Regenerasi Mindset.
    Guru harus melihat diri sebagai pembelajar sepanjang hayat. Mengikuti pelatihan bukan untuk sertifikat, tetapi untuk benar-benar mengubah praktik.

Penutup: Sebuah Pesimisme yang Bisa Diubah

Pesimisme bahwa "memang sudah begitu adanya" adalah musuh terbesar perubahan. Tulisan ini lahir dari seorang guru yang merasakan langsung stagnasi itu, dan justru di situlah harapan itu mulai.

Kesadaran akan kelemahan diri adalah langkah pertama menuju perbaikan. Ketika guru-guru "biasa-biasa saja" memutuskan untuk tidak lagi biasa-biasa saja dalam cara berpikir dan bertindak, barulah perubahan kurikulum akan menemukan ruhnya.

Hasil TKA yang lebih baik bukanlah tujuan akhir, melainkan indikator sampingan dari sebuah proses yang lebih mulia: lahirnya generasi yang tidak hanya pintar secara artifisial, tetapi cerdas secara mendalam, kritis, dan siap menghadapi kompleksitas zaman. Itu semua bermula dari satu ruang kelas, di hadapan satu papan tulis, dan dari seorang guru yang memilih untuk berubah.

Artikel refleksi pendidikan Indonesia, berbasis pengalaman nyata di lapangan untuk kontemplasi dan aksi nyata.

Bagikan di

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2015-2025 Urip dot Info | Disain Template oleh Herdiansyah Dimodivikasi Urip.Info