Minggu, 5 November 2017.
Minggu pagi pukul 05.00 WIB saya bersama yunior bersiap berangkat gowes santai menuju Pantai Sabuai. Rute dari rumah menuju Bundaran Pancasila Pangkalan Bun, dilanjutkan perjalanan menuju Desa Kumpai Batu Atas arah barat daya kota Pangkalan Bun. Jalanan menuju Kumpai Batu atas nyaris datar dan relatif mulus, hanya ada satu tanjakan agak panjang selepas kampung bekas Kalimati Lama.
Sesampai di perempatan Kumpai Batu Atas yang jika belok kanan menuju Kumpai Batu Bawah, saya belok kiri menyusuri jalan tanah yang relatif bagus mentok hingga sejajar tower BTS belok kanan hingga di tower BTS itu dengan menyeberangi jembatan kayu ala kadarnya jalan setapak dan melintasi kebun sawit. Sesampai tower BTS itu dilanjutkan belok kiri lagi menyusuri jalan tanah berpasir yang cukup lebar, berkelok dan beberapa berupa kubangan air yang tidak terelakkan.
Memang ada beberapa pertigaan jalan berpasir menuju kebun sawit, tapi jalanan tidak lewat situ, ambil lurus hingga bertemu pertigaan yang saat kami melintas berupa pertigaan jalan urugan tanah liat berwarna kuning yang sangat lengket setelah hujan semalam. Belok kanan pada pertigaan ini. Inilah rute menuju lokasi calon bandara baru sebagai ganti Bandara Iskandar milik TNI AU itu. Tinggal menyusuri jalan lebar hasil urugan tanah liat kuning itu. Hingga tengah jalur tersebut akan sangat banyak ditemui kubangan tanah berlumpur. Untuk gowes ini ndak jadi masalah, masih dapat dipilih alur yang layak dilewati meskipun mesti hati-hati terpeleset. Suara merdu terdengar seolah paduan suara antara burung-burung liar dengan suara monyet atau uwak-uwak yang saling bersautan.
Mendekati lokasi calon badara itu jalanan berselang-seling antara jalan berpasir tebal dengan jalan tanah urugan tadi. Sampai ketemu jalan yang sangat lebar sekitar 50 meter dan sekitarnya kebun sawit. Selepas lokasi calon bandara akan dijumpai pertigaan jalan tanah jika belok ke kiri akan sampai dusun Sabuai Timur mengarah ke Desa Keraya, dan tentu kalau belok kanan menuju dusun Sabuai Barat Desa Sabuai.
Jika ingin menikmati suasana pantai di Sabuai Barat bisa dilanjut perjalanannya, seperti yang kami lakukan. Kebetulan saat di pantai berjumpa penduduk setempat sedang menjaring udang di pinggir laut Jawa itu. Dari obrolan yang terasa cepat sekali akrab, lantas mereka berkeluh kesah tentang keadaan mereka yang merasa kesulitan ekonomi. Bertani sulit, menanam sawit belum kunjung panen, beberapa kebunnya sebagian sudah tergusur untuk calon bandara baru itu. Semoga dapat ganti rugi. Mereka pasrah, karena bila melaut tanpa punya kapal hasilnya sangat tidak menentu. Saya mencoba membesarkan hati sang ibu beserta suami barangkali jika bandara jadi terbangun mereka akan mendapat rejeki dengan berdagang atau usaha lain.Nampak pantai dengan air bersihnya, akhirnya kami pamit melanjut perjalanan. Sampai di sini dengan bersepeda kami membutuhkan waktu sekitar 3 jam, dengan jarak tempuh sekitar 38 KM dari Pangkalan Bun.
Selepas Kantor Desa Sabuai akan ketemu Dusun Sungai Rangas yang merupakan bagian dari Desa Sabuai. Selanjutnya kita akan menyusuri jalanan hingga Desa Pendulangan. Desa ini tepat berada di tepi muara Sungai Arut. Sayangnya kami tidak menyempatkan diri mampir. Perkampungan ini khas dengan rumah panggung karena di bawahnya terandam air, tidak banyak penduduknya. Ketika kami melintas di kejauhan nampak sebuah sekolah dasar dengan cat warna-warni.
Sebagai panduan kami selain mengandalkan GPS pada aplikasi Runtastic kami berpedoman pada tiang listrik yang terpancang sepanjang jalur yang kami lalui Namun selepas Desa Pendulangan tiang listrik itu sudah tidak ada lagi, rupanya ia berakhir di desa tersebut. Karena jalan semakin menyempit untuk meyakinkan diri arah dengan benar sempat bertanya dengan bapak tua yang sedang duduk di jembatan. Benar arah kami tidak keliru. Basa-basi menanya sedang apa dan seterusnya, bapak tua tadi cerita bahwa alur sungai kecil di sekitar jalan menuju Kumpai Batu sesungguhnya ikannya sudah tidak banyak, karena setiap saat selalu ada orang jauh yang berniat memacing. Kami menjadi pede untuk menyusuri jalan itu karena itu adalah jalan satu-satunya yang mengarah ke Pangkalan Bun.
Sampai di sini cuaca sangat bersahabat, mendung dengan temaram matahari dengan cahaya tersamar aman kami menikmatinya. Diujung kampung Pendulangan kami dihadapkan sungai yang relatif besar dengan jembatan kokoh, di kejauhan tampak rumah walet milik warga. Memang benar beberapa rumah walet ini menjadi pemandangan yang biasa di sekitar alur jalan sekitar rawa, karena berharap pemilik rumah walet mendapat penghasilan yang menggiurkan dari bisnis sarang walet.
Memasuki alur menuju desa Sei Terantang jalan bergelombang hampir 7 KM dari Desa Pendulangan atau KM 60 dari perjalanan kami. Hingga berjumpa jembatan Seberang Gajah dengan ditandai patok beton bercat kuning seperti gambar berikut. Di sekitar jembatan ini terjumpai beberapa kapal klotok yang digunakan oleh warga untuk beraktivitas melaut. Iya baru kali ini kami melalui jalur ini semenjak masuk Kabupaten Kotawaringin Barat tahun 1997. Benar-benar menikmati rute baru ini. Sampai di sini matahari semakin terang bahkan boleh dikatakan terik. Untung kami berdua menggunakan pakaian yang menutupi badan dan kaki secara penuh. Stok air yang semula masing-masing 2 liter kini tinggal 800 mililiter.
5 KM dari jembatan Seberang gajah ini kanan kirinya sudah banyak rumah penduduk Desa Sei Terantang. Di penghujung desa ini terdapat bangunan SMP Negeri 9 Arut Selatan yang tidak jauh dari kelok jalan dekat jembatan menyeberangi kali kecil. Jalanan berselang-seling antara beraspal mulus dengan jalan aspal rusak berkerikil lepas.
Sedikit melepas penat kami beristirahat di pos siskamling di pojok kantor Desa Kumpai Batu Bawah waktu menunjukkan pukul 11 lebih sedikit yang berarti kami sudah berjalan selama 6 jam sejak pukul 05.00 WIB. Cuaca semakin terik namun tenaga semakin terkuras, terakhir kami santap 2 buah pisang hijau yang semula kami siapkan. Biasa ketika gowes kami selalu menyiapkan asupan instan berupa pisang. Konon pisang dapat menyediakan tenaga ekstra. Berdua kami membawa 8 buah pisang yang kami masukkan tas ransel. Sebelum sampai rumah masih sempat istirahat sejenak setelah melewati jalan beraspal mulus berupa tanjakan agak panjang sebelum memasuki kota Pangkalan Bun. Tepat pukul 12.17 WIB sampai rumah. Senangnya menikmati rute baru, capek terbayar dengan hal baru. Setelah mendinginkan badan, bebersih badan, makan, istirahat dan tidur siang.
Rute yang kami tempuh serta jarak dapat dilihat pada rekam jejak aplikasi Runtastic ini.
Ikuti cerita perjalanan kami di waktu berikutnya.
Minggu pagi pukul 05.00 WIB saya bersama yunior bersiap berangkat gowes santai menuju Pantai Sabuai. Rute dari rumah menuju Bundaran Pancasila Pangkalan Bun, dilanjutkan perjalanan menuju Desa Kumpai Batu Atas arah barat daya kota Pangkalan Bun. Jalanan menuju Kumpai Batu atas nyaris datar dan relatif mulus, hanya ada satu tanjakan agak panjang selepas kampung bekas Kalimati Lama.
Sesampai di perempatan Kumpai Batu Atas yang jika belok kanan menuju Kumpai Batu Bawah, saya belok kiri menyusuri jalan tanah yang relatif bagus mentok hingga sejajar tower BTS belok kanan hingga di tower BTS itu dengan menyeberangi jembatan kayu ala kadarnya jalan setapak dan melintasi kebun sawit. Sesampai tower BTS itu dilanjutkan belok kiri lagi menyusuri jalan tanah berpasir yang cukup lebar, berkelok dan beberapa berupa kubangan air yang tidak terelakkan.
Memang ada beberapa pertigaan jalan berpasir menuju kebun sawit, tapi jalanan tidak lewat situ, ambil lurus hingga bertemu pertigaan yang saat kami melintas berupa pertigaan jalan urugan tanah liat berwarna kuning yang sangat lengket setelah hujan semalam. Belok kanan pada pertigaan ini. Inilah rute menuju lokasi calon bandara baru sebagai ganti Bandara Iskandar milik TNI AU itu. Tinggal menyusuri jalan lebar hasil urugan tanah liat kuning itu. Hingga tengah jalur tersebut akan sangat banyak ditemui kubangan tanah berlumpur. Untuk gowes ini ndak jadi masalah, masih dapat dipilih alur yang layak dilewati meskipun mesti hati-hati terpeleset. Suara merdu terdengar seolah paduan suara antara burung-burung liar dengan suara monyet atau uwak-uwak yang saling bersautan.
Ruas jalan dari Kumpai Batu Atas menuju Sebuai Kotawaringin Barat - Kalimantan Tegah |
Mendekati lokasi calon badara itu jalanan berselang-seling antara jalan berpasir tebal dengan jalan tanah urugan tadi. Sampai ketemu jalan yang sangat lebar sekitar 50 meter dan sekitarnya kebun sawit. Selepas lokasi calon bandara akan dijumpai pertigaan jalan tanah jika belok ke kiri akan sampai dusun Sabuai Timur mengarah ke Desa Keraya, dan tentu kalau belok kanan menuju dusun Sabuai Barat Desa Sabuai.
Jika ingin menikmati suasana pantai di Sabuai Barat bisa dilanjut perjalanannya, seperti yang kami lakukan. Kebetulan saat di pantai berjumpa penduduk setempat sedang menjaring udang di pinggir laut Jawa itu. Dari obrolan yang terasa cepat sekali akrab, lantas mereka berkeluh kesah tentang keadaan mereka yang merasa kesulitan ekonomi. Bertani sulit, menanam sawit belum kunjung panen, beberapa kebunnya sebagian sudah tergusur untuk calon bandara baru itu. Semoga dapat ganti rugi. Mereka pasrah, karena bila melaut tanpa punya kapal hasilnya sangat tidak menentu. Saya mencoba membesarkan hati sang ibu beserta suami barangkali jika bandara jadi terbangun mereka akan mendapat rejeki dengan berdagang atau usaha lain.Nampak pantai dengan air bersihnya, akhirnya kami pamit melanjut perjalanan. Sampai di sini dengan bersepeda kami membutuhkan waktu sekitar 3 jam, dengan jarak tempuh sekitar 38 KM dari Pangkalan Bun.
Selepas Kantor Desa Sabuai akan ketemu Dusun Sungai Rangas yang merupakan bagian dari Desa Sabuai. Selanjutnya kita akan menyusuri jalanan hingga Desa Pendulangan. Desa ini tepat berada di tepi muara Sungai Arut. Sayangnya kami tidak menyempatkan diri mampir. Perkampungan ini khas dengan rumah panggung karena di bawahnya terandam air, tidak banyak penduduknya. Ketika kami melintas di kejauhan nampak sebuah sekolah dasar dengan cat warna-warni.
Sebagai panduan kami selain mengandalkan GPS pada aplikasi Runtastic kami berpedoman pada tiang listrik yang terpancang sepanjang jalur yang kami lalui Namun selepas Desa Pendulangan tiang listrik itu sudah tidak ada lagi, rupanya ia berakhir di desa tersebut. Karena jalan semakin menyempit untuk meyakinkan diri arah dengan benar sempat bertanya dengan bapak tua yang sedang duduk di jembatan. Benar arah kami tidak keliru. Basa-basi menanya sedang apa dan seterusnya, bapak tua tadi cerita bahwa alur sungai kecil di sekitar jalan menuju Kumpai Batu sesungguhnya ikannya sudah tidak banyak, karena setiap saat selalu ada orang jauh yang berniat memacing. Kami menjadi pede untuk menyusuri jalan itu karena itu adalah jalan satu-satunya yang mengarah ke Pangkalan Bun.
Sampai di sini cuaca sangat bersahabat, mendung dengan temaram matahari dengan cahaya tersamar aman kami menikmatinya. Diujung kampung Pendulangan kami dihadapkan sungai yang relatif besar dengan jembatan kokoh, di kejauhan tampak rumah walet milik warga. Memang benar beberapa rumah walet ini menjadi pemandangan yang biasa di sekitar alur jalan sekitar rawa, karena berharap pemilik rumah walet mendapat penghasilan yang menggiurkan dari bisnis sarang walet.
Memasuki alur menuju desa Sei Terantang jalan bergelombang hampir 7 KM dari Desa Pendulangan atau KM 60 dari perjalanan kami. Hingga berjumpa jembatan Seberang Gajah dengan ditandai patok beton bercat kuning seperti gambar berikut. Di sekitar jembatan ini terjumpai beberapa kapal klotok yang digunakan oleh warga untuk beraktivitas melaut. Iya baru kali ini kami melalui jalur ini semenjak masuk Kabupaten Kotawaringin Barat tahun 1997. Benar-benar menikmati rute baru ini. Sampai di sini matahari semakin terang bahkan boleh dikatakan terik. Untung kami berdua menggunakan pakaian yang menutupi badan dan kaki secara penuh. Stok air yang semula masing-masing 2 liter kini tinggal 800 mililiter.
5 KM dari jembatan Seberang gajah ini kanan kirinya sudah banyak rumah penduduk Desa Sei Terantang. Di penghujung desa ini terdapat bangunan SMP Negeri 9 Arut Selatan yang tidak jauh dari kelok jalan dekat jembatan menyeberangi kali kecil. Jalanan berselang-seling antara beraspal mulus dengan jalan aspal rusak berkerikil lepas.
Sedikit melepas penat kami beristirahat di pos siskamling di pojok kantor Desa Kumpai Batu Bawah waktu menunjukkan pukul 11 lebih sedikit yang berarti kami sudah berjalan selama 6 jam sejak pukul 05.00 WIB. Cuaca semakin terik namun tenaga semakin terkuras, terakhir kami santap 2 buah pisang hijau yang semula kami siapkan. Biasa ketika gowes kami selalu menyiapkan asupan instan berupa pisang. Konon pisang dapat menyediakan tenaga ekstra. Berdua kami membawa 8 buah pisang yang kami masukkan tas ransel. Sebelum sampai rumah masih sempat istirahat sejenak setelah melewati jalan beraspal mulus berupa tanjakan agak panjang sebelum memasuki kota Pangkalan Bun. Tepat pukul 12.17 WIB sampai rumah. Senangnya menikmati rute baru, capek terbayar dengan hal baru. Setelah mendinginkan badan, bebersih badan, makan, istirahat dan tidur siang.
Rute yang kami tempuh serta jarak dapat dilihat pada rekam jejak aplikasi Runtastic ini.
Ikuti cerita perjalanan kami di waktu berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar