Masa akhir semester adalah masa tersibuk bagi guru, membuat laporan hasil belajar untuk siswa. Semula, dahulu, soal pengolahan nilai akhir semester adalah hal biasa, tanpa ada gejolak. Ketika belum ada KKM (kriteria ketuntasan minimal) masih banyak sekolah dengan idealisme dalam pemberian nilai setiap mata pelajaran. Bagaimana setelah diberlakukannya KKM? Seolah ada huru-hara. Awal-awal diberlakukannya mungkin rumusan penentuan KKM seoalah baik-baik saja, mengikuti rumus yang telah ditentukan, meskipun semua bersifat kualitatif yang diyakini akan tetap sulit obyektif. Semakin ke belakang seiring banyaknya kepentingan yang selalu didasarkan nilai KKM, mulai dari akreditasi, penerimaan siswa/mahasiswa baru semakin runyam saja rasanya.
Mungkin niatan pembuat kebijakan semula yakin sangat-sangat mulia, agar pendidikan di negeri ini semakin baik. Namun apa hendak dikata, pragmatis pun terjadi di persekolahan, sudah beda cerita. KKM tidak lagi mengacu pada rumusan yang harus diperhitungkan melalui aspek kompleksitas kompetensi dasar materi, aspek sumber daya dukung pembelajaran dan aspek kemampuan awal siswa. Persentase setiap aspek diperhitungkan. Ini sesuai dengan petunjuk yang diterima para praktisi pendidikan di berbagai kegiatan diklat atau apapun namanya. Sekali lagi ini hanya teori.
Prakteknya? KKM tidak ditentukan dengan cara itu, tapi berdasar banyak pertimbangan terkait nasib siswa, nasib sekolah. Agak aneh, karena tak terkedalinya jor-joran tinggi KKM antara sekolah di suatu daerah akhirnya dipatok KKM sekian. Lengkaplah sudah kekacauan ini. Bagi orang tua yang sekaligus sebagai guru, melihat nilai anak pada laporan hasil pendidikan pasti akan tersenyum kecut, atau kadang urut dada, mau dikemanakan pendidikan ini.
Selain KKM, dengan bertumpuknya hal administrasi yang harus dipenuhi guru banyak aktivitas yang hanya sebatas administrasi. Mengajar kadang menjadi dinomorduakan. Ini tentu tidak semua guru, tapi dirasakan banyak guru. Tataran teori akan sangat berbeda dengan praktek. Ini dialami guru baik di sekolah perkotaan apalagi di daerah yang lebih mendalam (pelosok). Begitu akhir semester kegiatan yang ngetren sebutannya adalah mengaji (mengarang biji/nilai), kegiatan yang masif terjadi, tidak peduli di kota atau pelosok.
Bagi yang tidak mau repot memberi nilai sebagian guru masih ada yang mengaku cukup ingat wajah siswa mereka bisa memberi nilai menurut perasaan. Data-data pendukung mungkin ada tapi keadaan yang akhirnya memberikan nilai yang tidak dikehendaki itu terjadi. Sementara tututan kepatutan KKM mengharuskan sang guru "mengaji" tadi. Jadilah fenomena membahana kegiatan mengaji tadi. Karena saking banyaknya yang melakukan itu, guru-guru tidak mau bohong bahwa ia melakukan itu dengan alasan macam-macam tapi sumber kekacauan itu tidak lain adalah KKM.
Penilaian pada kurikulum 2013 memang "mengharamkan" menilai dengan menggunakan penilaian acuan norma (PAN), yang diwajibkan adalah menggunakan penilaian acuan patokan (PAP) karena memang teorinya ada target capaian untuk setiap kompetensi. Bahasa gampangnya dipatok berdasar KKM, ini bahasa gampangnya. Nilai kurang dari KKM maka siswa dikatakan tidak tuntas untuk suatu mata pelajaran. Konsekwensinya memang bisa panjang kalau sampai siswa tidak tuntas-tuntas setelah sekian kali remedial, mengapa siswa bisa tidak tuntas, bagi guru karena tidak mau diklaim guru tidak becus mengajar, kepala sekolah tidak mau dikatakan tidak berhasil membina guru, pendek kata semua cari aman, buat tuntas saja. Lengkaplah sudah. Hulu dari semua itu adalah KKM dengan muara "konversi nilai".
Dalam teori penilaian sebenarnya tidak haram menggunakan PAN hanya memang untuk penstandaran memang tidak cocok, karena itu sifatnya adalah per populasi atau bahkan persampel. Meski demikian daripada mengarang nilai yang asal sesuka hati guru tanpa ada rasa keadilan, penggunaan PAN ini dipilih karena sedikit lebih manusiawi. Nilai mentah yang rendah, sedang, dan tinggi akan tetap berbeda satu dengan yang lain karena akan dibuat rentang antarnilai. Ini adalah pengatrolan nilai yang sedikit ilmiah, atau berdasar. Oh ya di kalangan guru istilah pengatrolan nilai ini dibuat agak lebih tersamar, diganti istilah konversi nilai. Iya konversi nilai rendah dikonversi setidaknya sama dengan KKM 😃.
Banyak rekan meminta bantuan bagaimana caranya mengonversi nilai siswa agar setidaknya sesuai KKM namun tetap berkeadilan. Muculah ide untuk membuat alat konversi tadi. Memang pengonversi ini tidak sepenuhnya mengikuti rumus PAN tetapi setidaknya "berkeadilan" bagi siswa dalam satu sekolah. Jangan ditertawakan apalagi dipertanyakan macam apa keadilan yang dimaksud. Cukup pejamkan mata dan layangkan pikiran ketika memberi sangu anak SD, dengan anak SMA tentu beda besarannya kan?! Apa boleh buat jadilah alat pengonversi tadi, kalau mau melihat boleh klik pranala ini. Bahkan untuk kebutuhan rekan guru entah apa alasannya ada juga yang meminta dibuatkan untuk sebaran nilai per-KD dengan rata-rata yang sudah ditentukan.
Penulis sendiri berharap penggunaan KKM ini dihentikan atau dikaji ulang kemaslahatannya untuk pendidikan. Menghentikan huru-hara yang bisa mengacaukan esensi mendidik yang sesungguhnya. Kalau sering orang mengagungkan sistem pendidikan di Finlandia silakan, tapi coba kita lihat apa yang dilakukan di sana dengan sistem penilaiannya. Banyak guru yang berharap kalau tidak bisa lebih baik sistem penialaian berikutnya sebaiknya kembali ke jaman tanpa KKM. Biarlah lulusan bersaing secara natural. setiap masuk jenjang pendidikan atau dunia kerja biarlah mengikuti seleksi yang diadakan pihak yang berkepentingan, mereka akan membuat alat seleksi sesuai kebutuhannya. Nilai-nilai hanya untuk melihat batasan proses belajar saja, tanpa ada beban ini itu. Itupun kalau masih dipandang perlu. Kalau tidak perlu biarlah siswa belajar tanpa takut mendapat angka rendah. Semoga pemerintah benar-benar meninjau ulang tentang KKM ini.
Mungkin niatan pembuat kebijakan semula yakin sangat-sangat mulia, agar pendidikan di negeri ini semakin baik. Namun apa hendak dikata, pragmatis pun terjadi di persekolahan, sudah beda cerita. KKM tidak lagi mengacu pada rumusan yang harus diperhitungkan melalui aspek kompleksitas kompetensi dasar materi, aspek sumber daya dukung pembelajaran dan aspek kemampuan awal siswa. Persentase setiap aspek diperhitungkan. Ini sesuai dengan petunjuk yang diterima para praktisi pendidikan di berbagai kegiatan diklat atau apapun namanya. Sekali lagi ini hanya teori.
Prakteknya? KKM tidak ditentukan dengan cara itu, tapi berdasar banyak pertimbangan terkait nasib siswa, nasib sekolah. Agak aneh, karena tak terkedalinya jor-joran tinggi KKM antara sekolah di suatu daerah akhirnya dipatok KKM sekian. Lengkaplah sudah kekacauan ini. Bagi orang tua yang sekaligus sebagai guru, melihat nilai anak pada laporan hasil pendidikan pasti akan tersenyum kecut, atau kadang urut dada, mau dikemanakan pendidikan ini.
Selain KKM, dengan bertumpuknya hal administrasi yang harus dipenuhi guru banyak aktivitas yang hanya sebatas administrasi. Mengajar kadang menjadi dinomorduakan. Ini tentu tidak semua guru, tapi dirasakan banyak guru. Tataran teori akan sangat berbeda dengan praktek. Ini dialami guru baik di sekolah perkotaan apalagi di daerah yang lebih mendalam (pelosok). Begitu akhir semester kegiatan yang ngetren sebutannya adalah mengaji (mengarang biji/nilai), kegiatan yang masif terjadi, tidak peduli di kota atau pelosok.
Bagi yang tidak mau repot memberi nilai sebagian guru masih ada yang mengaku cukup ingat wajah siswa mereka bisa memberi nilai menurut perasaan. Data-data pendukung mungkin ada tapi keadaan yang akhirnya memberikan nilai yang tidak dikehendaki itu terjadi. Sementara tututan kepatutan KKM mengharuskan sang guru "mengaji" tadi. Jadilah fenomena membahana kegiatan mengaji tadi. Karena saking banyaknya yang melakukan itu, guru-guru tidak mau bohong bahwa ia melakukan itu dengan alasan macam-macam tapi sumber kekacauan itu tidak lain adalah KKM.
Penilaian pada kurikulum 2013 memang "mengharamkan" menilai dengan menggunakan penilaian acuan norma (PAN), yang diwajibkan adalah menggunakan penilaian acuan patokan (PAP) karena memang teorinya ada target capaian untuk setiap kompetensi. Bahasa gampangnya dipatok berdasar KKM, ini bahasa gampangnya. Nilai kurang dari KKM maka siswa dikatakan tidak tuntas untuk suatu mata pelajaran. Konsekwensinya memang bisa panjang kalau sampai siswa tidak tuntas-tuntas setelah sekian kali remedial, mengapa siswa bisa tidak tuntas, bagi guru karena tidak mau diklaim guru tidak becus mengajar, kepala sekolah tidak mau dikatakan tidak berhasil membina guru, pendek kata semua cari aman, buat tuntas saja. Lengkaplah sudah. Hulu dari semua itu adalah KKM dengan muara "konversi nilai".
Dalam teori penilaian sebenarnya tidak haram menggunakan PAN hanya memang untuk penstandaran memang tidak cocok, karena itu sifatnya adalah per populasi atau bahkan persampel. Meski demikian daripada mengarang nilai yang asal sesuka hati guru tanpa ada rasa keadilan, penggunaan PAN ini dipilih karena sedikit lebih manusiawi. Nilai mentah yang rendah, sedang, dan tinggi akan tetap berbeda satu dengan yang lain karena akan dibuat rentang antarnilai. Ini adalah pengatrolan nilai yang sedikit ilmiah, atau berdasar. Oh ya di kalangan guru istilah pengatrolan nilai ini dibuat agak lebih tersamar, diganti istilah konversi nilai. Iya konversi nilai rendah dikonversi setidaknya sama dengan KKM 😃.
Banyak rekan meminta bantuan bagaimana caranya mengonversi nilai siswa agar setidaknya sesuai KKM namun tetap berkeadilan. Muculah ide untuk membuat alat konversi tadi. Memang pengonversi ini tidak sepenuhnya mengikuti rumus PAN tetapi setidaknya "berkeadilan" bagi siswa dalam satu sekolah. Jangan ditertawakan apalagi dipertanyakan macam apa keadilan yang dimaksud. Cukup pejamkan mata dan layangkan pikiran ketika memberi sangu anak SD, dengan anak SMA tentu beda besarannya kan?! Apa boleh buat jadilah alat pengonversi tadi, kalau mau melihat boleh klik pranala ini. Bahkan untuk kebutuhan rekan guru entah apa alasannya ada juga yang meminta dibuatkan untuk sebaran nilai per-KD dengan rata-rata yang sudah ditentukan.
Penulis sendiri berharap penggunaan KKM ini dihentikan atau dikaji ulang kemaslahatannya untuk pendidikan. Menghentikan huru-hara yang bisa mengacaukan esensi mendidik yang sesungguhnya. Kalau sering orang mengagungkan sistem pendidikan di Finlandia silakan, tapi coba kita lihat apa yang dilakukan di sana dengan sistem penilaiannya. Banyak guru yang berharap kalau tidak bisa lebih baik sistem penialaian berikutnya sebaiknya kembali ke jaman tanpa KKM. Biarlah lulusan bersaing secara natural. setiap masuk jenjang pendidikan atau dunia kerja biarlah mengikuti seleksi yang diadakan pihak yang berkepentingan, mereka akan membuat alat seleksi sesuai kebutuhannya. Nilai-nilai hanya untuk melihat batasan proses belajar saja, tanpa ada beban ini itu. Itupun kalau masih dipandang perlu. Kalau tidak perlu biarlah siswa belajar tanpa takut mendapat angka rendah. Semoga pemerintah benar-benar meninjau ulang tentang KKM ini.
Mantap,faktual,aktual, riil....lanjutkan,tetap kritis dgn saran konstruktif dan solusi riil bgi perbaikan kondisi negeri ini
BalasHapusmohon izin share
BalasHapusIzin share pak
BalasHapussy juga sering KKM om, (Kadang-Kadang Marah) hahaha
BalasHapussaya suka dengan ini pak, Kadang Kadang Marah :)
Hapusizin share pak :)
BalasHapus