Gowes Ke Kotawaringin Lama Kab. Kotawaringin Barat

Rabu, 22 November 2017 edit

Minggu, 19 November 2017
Minggu ini akhirnya kesampaian juga mengunjungi Kotawaringin Lama, sebuah kecamatan yang berada di barat laut kota Pangkalan Bun. Berjarak sekitar 41 KM dari Bundaran Tudung Saji Pangkalan Bun. Jalanan nyaris datar tanpa ada tanjakan, hal ini dapat dilihat dari rekam jejak Runtastik yang menghasilkan elevation gains hanya sebesar 987 dan elevation loss sebesar 994. Namun demikian menurut aplikasi ini total kalori yang terbakar sebesar 1990 kilokalori. Kotawaringin Lama (selanjutnya disebut Kolam) menyimpan sejarah sebagai cikal bakal kerajaan Kotawaringin.

Kami berdua berangkat dari rumah pukul 05.24 WIB dan sampai kembali di rumah pukul 12.11 WIB. Alam sudah sangat terang benderang ketika kami menginjak pedal sepeda pertama kali. Bahkan matahari seolah ingin segera membagikan cahaya terangnya dengan kuat. Dari rumah menuju Jalan Pasanah ke arah SMA 2 (Bundaran Gentong) belok kanan menuju Jalan Natai Arahan, di pertigaan dekat tempat cuci mobil kami belok kiri menyusuri Jalan Asta Perdana menuju Jalan Ahmad Yani. Di pertigaan Ahmad Yani selanjutnya kami menuju Bundaran Tudung Saji dan mengarah ke Jembatan Sungai Arut. Berlanjut hingga ke Kolam sebagai tujuan akhir. Sebenarnya ke Kolam ada dua jalur selain yang kami lalui, tetapi jaraknya lebih jauh, yaitu via Kab. Lamandau.

Bundaran Mahkota - Ikon Kotawaringin Lama

Rute Pangkalan Bun - Kotawaringin Lama - Pangkalan Bun
Begitu kami keluar dari Kota Pangkalan Bun menuju Tikungan dekat SMKN 4 Pangkalan Bun jaraknya sekitar 5,5 KM (atau di KM 10,5 pada alur rekam jejak di atas) dari bundaran Tudung saji. Jalanan aspal relatif mulus dengan sesekali sepeda terhentak ketika melalui jembatan kecil yang kontur aspalnya tidak dibuat smooth. Tidak ada hal istimewa hingga di sini, yang sangat terkesan adalah banyaknya kotoran sapi milik warga yang membiarkan hewan piaraannya merumput di pinggir jalan. Sangat mengganggu pemandangan dan penciuman. Meskipun demikian kami tetap konsisten untuk genjot peda secara stabil, tidak terlalu cepat atau lambat, mengingat perjalanan yang akan kami tempuh cukup jauh. Jalanan sangat sepi mungkin karena hari minggu hanya sesekali kali disalip oleh pengendara motor yang berniat memancing ke arah Kolam saja, ini terlihat dari perangkat yang dibawanya. Pada tikungan dengan SMKN 4 Pangkalan Bun ini kami meneguk air mineral. Keringat mulai keluar walau belum deras.

Santai sejenak di tikungan jalan dekat SMKN 4 Pangkalan Bun
Dari tikungan pertama ini jalanan sangat mulus, akan dijumpai jembatan memanjang sekitar 1 KM pada KM 13 dari perjalanan kami. Daerah ini dahulunya kerap banjir karena permukaan tanahnya yang relatif rendah. Jalanan mulus beraspal ini berjarak hingga KM 17 perjalanan kami. Sepanjang kanan kiri jalan sejajar dengan badan jalan tersaji sungai yang sesekali ada kapal kecil (sering kami sebut kapal klotok) mengangkut orang atau kelapa sawit. Dan di seberang masih menghijau semak belukar dan sebagian lagi sudah tertanam rapi kelapa sawit yang belum panen. Matahari sudah semakin berani menyorotkan sinarnya ke badan kami, hangat. Sejak KM 17 perjalanan kami inilah tantangan yang sebenarnya baru kami rasakan.

Penghujung jalan beraspal menuju Kotawaringin Lama (KM 12 dari Pangkalan Bun)

Jalanan memang keras dengan material laterit berwarna kuning paduan tanah liat dan kerikil alami. Jalan ini sudah sangat layak dilalui kendaraan roda empat. Meskipun untuk truk (kendaraan roda enam ke atas) tidak diperbolehkan melintas kecuali hanya untuk kendaraan proyek jalan saja.Di sana-sini sepanjang jalan kami serasa mengendarai sepeda di permukaan bulan, banyak cekungan besar dan kecil. Eksotik sih sebenarnya pemandangan jalan kali ini, tapi menjadi sangat tidak bersahabat di pantat dan pundak serta lengan kami. Hentakan pelan hingga keras ketika kami tidak lagi bisa menghindar dari cekungan jalan. Kalau kendaraan bermotor ini tidak terlalu bermasalah karena menggunakan suspensi depan dan belakang sehingga hentakan bisa diredam. Sepanjang jalan kanan kiri hanyalah semak belukar saja, yang dasarnya sebagian besar adalah rawa-rawa bergambut. Terlihat dari air yang berwarna kecokelatan tidak manis.

Kondisi jalan ke Kotawaringin Lama per 19 November 2017

Di tengah jalan setelah menempuh jarak 25 KM, tepat di jembatan dengan cat dominan warna kuning kami beristirahat untuk menggantikan air yang keluar sebagai keringat. Buah pisang pun masuk ke mulut untuk menambah energi. Ini masih separuh perjalanan kami menuju Kolam. Di kejauhan sayup-sayup kicau burung menyambut siang yang mulai memanas. Langit membiru dengan bersaput awan kelabu. Kami masih sangat bersemangat untuk mencapai rute yang kami rencanakan. Jalanan masih belum berubah arah, masih mengarah ke barat laut lurus dan di KM 32,4 baru berbelok ke arah barat.

Mengganti air yang hilang di Jembatan Kuning

Sekitar KM 37 (dari perjalanan kami, bukan dari KM 0) kami temui jembatan panjang, panjang sekali dan cukup lebar mungkin sekitar 8 meter. Orang sini menyebutnya sebagai Jembatan Danau. Memang benar di bawah jembatan ini seolah ada di tengah danau, walaupun saat kami melintas air danau itu telah mengering berganti rumput menghijau dan semak belukar. Lagi-lagi kami harus beristirahat sejenak sambil meneguk air yang kami bawa. Karena saya mengenakan sarung jangan yang full fingger sepanjang jalan saya serahkan ke yunior untuk ambil gambar atau berfoto, praktis saya jadi obyeknya sekadar untuk menandai titik tertentu pada rute yang ditempuh. Sangat nikmat melalui jembatan ini karena berkilo-kilometer pantat kami seolah dipijat tanpa ampun. Gir belakang praktis kami pindah agak berat agar bisa melaju di jalan mulus. Tidak tahu persis berapa panjang jembatan ini. mungkin ada sekitar 2-4 KM kami tidak terlalu peduli ketika itu.

Jembatan danau menuju Kotawaringin Lama

Sekitar 5 KM kemudian kami sampai pada Jembatan Kolam yang tidak panjang menyeberangi Sungai Kotawaringin. Pada jembatan dipalang dengan tiang listrik yang berarti bahwa kendaraan dengan ketinggian batas palang itu dilarang melintas. Praktis hanya kendaraan roda empat dan roda dua saja yang bisa melintas. Memang di awal jalan di dekat Bundaran Tuding Saji Pangkalan Bun ada peringatan bahwa truk tidak diperkenankan melintas karena jalanan sedang dalam tahap perbaikan.

Jembatan Sungai Kotawaringin

Sesampai di jembatan kami mendapat sudut pandang yang bagus untuk mengabadikan perkampungan Kolam yang terasa tenteram. Di kejauhan nampak 3 BTS pemancar GSM.

Perkampungan Kotawaringin Lama sisi kanan - View dari Jembatan Kolam

Perkampungan Kotawaringin Lama sisi kiri - View dari Jembatan Kolam
Hore sampai juga akhirnya ke Kotawaringin Lama 😃

Peta perjalanan di Kotawaringin Lama
Kami memang tidak berniat untuk keliling kampung, hanya ingin memastikan bahwa kami pernah ke Kolam. Hanya objek wisata saja yang kami tuju. Itu pun tidak sampai masuk ke dalamnya mengingat pakaian kami yang kurang pantas dan tentu berbau keringat dan sedikit berdebu.

Selepas Jembatan Kolam ini sekitar 1 KM ada pertigaan dengan plang menuju Puskesmas, jalan maasih dalam tahap pengerasan, oleh karena itu kami tidak belok lewat jalur itu. Terus saja sampai di pertigaan berikutnya dekat toko klontong, kami berbelok ke kanan yang kemudian tidak jauh akan menghadapi pertigaan lagi, kami ambil arah kanan lagi, sambil memeriksa peta pada aplikasi Runtastic. Di seberang jalan bercabang Y kami melihat masjid khas berwarna kehijauan, Masjid Sultan Baladuddin. Mungkin ini masjid yang di bangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila dijaman berkuasanya Presiden Soeharto. Kami duga begitu karena bangunannya yang khas berwarna dominan hijau dengan kubah bentuk limas segiempat.

Masjid Sultan Baladuddin Kotawaringin Lama
Dari depan jalan masjid ini (Jalan Ampi) kami terus mengarah ke timur, yang kami tuju adalah kompleks Makan Kyai Gede yang terkenal di daerah Kotawaringin Barat. Dengan mengikuti petunjuk arah kami percaya diri tanpa tanya siapapun akhirnya kami sampai juga. Setelah hanya mengambil foto kami beristirahat sejenak di bawah pohon besar dan rindang di halaman kompleks makam Kyai Gede ini. Nampak beberapa kendaraan yang baru parkir untuk berziarah makam.

Kompleks Makam Kyai Gede
Tujuan berikutnya adalah mengunjungi Masjid Kyai Gede. Sebagaimana pada peta Runtastic kami susuri jalan hingga di pinggiran sungai Kolam. Berikut ini adalah foto di pinggir Sungai Kolam yang di kejauhan nampak Jembatan Kolam. Pada foto tidak begitu jelas.

View dari perkampungan mengarah ke Jembatan Kotawaringin

Yes, sampai yang dituju. Benar masjid Kyai Gede ini terletak di pinggir Sungai Kolam. Masjid terbuat dari kayu ulin tanpa di cat. Nampak bersahaja. Di depan masjid ini terdapat papan plang bertulis CAGAR BUDAYA. Memang masjid ini termasuk cagar budaya yang memiliki nilai sejarah bagi kerajaan Kotawaringin dahulu.

Masjid Kyai Gede di Pinggir Sungai Kotawaringin

Tak jauh, di seberang Masjid Kyai Gede ini terdapat destinasi wisata lain, yaitu Astana Al-Nursari, tentang ini saya tidak tahu banyak. Mungkin di dalamnya terdapat petilasan Kerajaan Kotawaringin dahulu. Bangunan khas bangunan kalimantan terbuat dari kayu ulin. Halamannya cukup luas dengan pohon pinang hias beberapa batang. Sekali lagi kami tidak berani memasuki area ini. Pakaian kami tidak pantas untuk mengunjungi objek yang dihormati warga Kolam, cukuplah mengambil gambar dari kejauhan.

Astana Al Nursari
Karena tidak ada yang ingin kami kunjungi akhirnya kami lanjutkan perjalanan untuk mengisi perut. Kami menuju jalan semula karena warung makan khas jawa yang direkomendasikan teman belum buka, kami akhirnya ambil alternatif warung banjar. Posisi warung tidak jauh dari Masjid Sultan Baladuddin tadi. Beristirahat sekitar 30 menit untuk sarapan pagi di warung ini (Warung Makan Pelangi - Amang Madnoor). Sedianya kami ingin makan makanan khas Jawa seperti yang direkomendasikan teman, sayangnya warung-warung tersebut belum buka. Karena pilihan menu tidak banyak akhirnya kami pesan ayam bakar komplit dengan segelas teh, seporsi Rp 30.000,-.  Warung Amang Madnoor ini tidak jauh dari pertigaan Masjid Sultan Baladudin. Kondisi masih pagi sekitar pukul 08.15 WIB. Makan tidak terburu-buru, kami menikmatinya setiap kecap, sambil merasakan pedihnya lidah yang terkena sariawan. Selesai makan sempat ngobrol dengan pelayan warung dan kami lanjutkan ke arah barat menuju Bundaran Mahkota yang menjadi ikon Kolam.

Warung Khas Banjar di dekat Masjid Sultan Baladudin
Jalan menuju Bundaran Mahkota sedikit menanjak. Ohya jalanan utama di kampung Kolam ini sudah beraspal meskipun tidak terlalu lebar. Sebelum sampai bundaran di sebelah kiri jalan akan dijumpai SD dan berikutnya adalah banguanan SMPN 1 Kolam. Jika diteruskan maka sebelah kanan jalan akan ketemu bangunan SMAN 1 Kolam, di seberangnya terdapat gereja. Tidak jauh dari sini Bundaran Mahkota sudah terlihat.
SMA Negeri 1 Kotawaringin Lama tidak jauh dari Bundaran Mahkota
Beberapa kali yunior saya minta mengambil foto ikon Kolam ini (gambar ada di bagian awal tulisan). Cuaca mulai terik, cukup menyengat kulit sebenarnya. Apa boleh kami teruskan perjalanan pulang. saking teriknya kami terpaksa istirahat untuk menyeka keringat di wajah agar tidak masuk ke mata. Tidak banyak tempat berteduh di sepanjang jalur ke Pangkalan Bun ini, apalagi matahari mulai mencapai puncaknya. Hanya beberapa pohon akasia yang dapat melindungi kami untuk bersantai sejenak. Mungkin ke depan perlu untuk penghijauan di sepanjang pinggir jalan agar tidak terlalu panas kondisi jalannya. Tepat pukul 12.11 kami berdua sampai kediaman. Aplikasi Runtastic pun dimatikan untuk mendapatkan laporan perjalanan kami hari ini.
Jejak kami di Runtastic.com.
Bagikan di

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2015-2024 Urip dot Info | Disain Template oleh Herdiansyah Dimodivikasi Urip.Info